Saturday 29 August 2009

Keutamaan Puasa Ramadhan

Keutamaan Puasa Ramadhan

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

“Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.’” (HR. Muslim no. 1151)



Dalam riwayat lain dikatakan,

قَالَ اللَّهُ كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ ، فَإِنَّهُ لِى

“Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa. Amalan puasa adalah untuk-Ku.’” (HR. Bukhari no. 1904)

Dalam riwayat Ahmad dikatakan,

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ كُلُّ الْعَمَلِ كَفَّارَةٌ إِلاَّ الصَّوْمَ وَالصَّوْمُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ

“Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), ‘Setiap amalan adalah sebagai kafaroh/tebusan kecuali amalan puasa. Amalan puasa adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya.’” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)

Pahala yang Tak Terhingga di Balik Puasa

Dari riwayat pertama, dikatakan bahwa setiap amalan akan dilipatgandakan sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kebaikan yang semisal. Kemudian dikecualikan amalan puasa. Amalan puasa tidaklah dilipatgandakan seperti tadi. Amalan puasa tidak dibatasi lipatan pahalanya. Oleh karena itu, amalan puasa akan dilipatgandakan oleh Allah hingga berlipat-lipat tanpa ada batasan bilangan.

Kenapa bisa demikian? Ibnu Rajab Al Hambali –semoga Allah merahmati beliau- mengatakan,”Karena puasa adalah bagian dari kesabaran”. Mengenai ganjaran orang yang bersabar, Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Qs. Az Zumar: 10)

Sabar itu ada tiga macam yaitu
[1] sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah,
[2] sabar dalam meninggalkan yang haram dan
[3] sabar dalam menghadapi takdir yang terasa menyakitkan. Ketiga macam bentuk sabar ini, semuanya terdapat dalam amalan puasa.

Dalam puasa tentu saja di dalamnya ada bentuk melakukan ketaatan, menjauhi hal-hal yang diharamkan, juga dalam puasa seseorang berusaha bersabar dari hal-hal yang menyakitkan seperti menahan diri dari rasa lapar, dahaga, dan lemahnya badan. Itulah mengapa amalan puasa bisa meraih pahala tak terhingga sebagaimana sabar.

Amalan Puasa Khusus untuk Allah

Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Allah Ta’ala berfirman, “Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa. Amalan puasa adalah untuk-Ku.” Riwayat ini menunjukkan bahwa setiap amalan manusia adalah untuknya. Sedangkan amalan puasa, Allah khususkan untuk diri-Nya. Allah menyandarkan amalan tersebut untuk-Nya.

Kenapa Allah bisa menyandarkan amalan puasa untuk-Nya?

[Alasan pertama] Karena di dalam puasa, seseorang meninggalkan berbagai kesenangan dan berbagai syahwat. Hal ini tidak didapati dalam amalan lainnya. Dalam ibadah ihram, memang ada perintah meninggalkan jima’ (berhubungan badan dengan istri) dan meninggalkan berbagai harum-haruman. Namun bentuk kesenangan lain dalam ibadah ihram tidak ditinggalkan. Begitu pula dengan ibadah shalat. Dalam shalat memang kita dituntut untuk meninggalkan makan dan minum. Namun itu dalam waktu yang singkat. Bahkan ketika hendak shalat, jika makanan telah dihidangkan dan kita merasa butuh pada makanan tersebut, kita dianjurkan untuk menyantap makanan tadi dan boleh menunda shalat ketika dalam kondisi seperti itu.

Jadi dalam amalan puasa terdapat bentuk meninggalkan berbagai macam syahwat yang tidak kita jumpai pada amalan lainnya. Jika seseorang telah melakukan ini semua –seperti meninggalkan hubungan badan dengan istri dan meninggalkan makan-minum ketika puasa-, dan dia meninggalkan itu semua karena Allah, padahal tidak ada yang memperhatikan apa yang dia lakukan tersebut selain Allah, maka ini menunjukkan benarnya iman orang yang melakukan semacam ini. Itulah yang dikatakan oleh Ibnu Rajab, “Inilah yang menunjukkan benarnya iman orang tersebut.” Orang yang melakukan puasa seperti itu selalu menyadari bahwa dia berada dalam pengawasan Allah meskipun dia berada sendirian. Dia telah mengharamkan melakukan berbagai macam syahwat yang dia sukai. Dia lebih suka mentaati Rabbnya, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya karena takut pada siksaan dan selalu mengharap ganjaran-Nya. Sebagian salaf mengatakan, “Beruntunglah orang yang meninggalkan syahwat yang ada di hadapannya karena mengharap janji Rabb yang tidak nampak di hadapannya.” Oleh karena itu, Allah membalas orang yang melakukan puasa seperti ini dan Dia pun mengkhususkan amalan puasa tersebut untuk-Nya dibanding amalan-amalan lainnya.

[Alasan kedua] Puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya yang tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Amalan puasa berasal dari niat batin yang hanya Allah saja yang mengetahuinya dan dalam amalan puasa ini terdapat bentuk meninggalkan berbagai syahwat. Oleh karena itu, Imam Ahmad dan selainnya mengatakan, “Dalam puasa sulit sekali terdapat riya’ (ingin dilihat/dipuji orang lain).” Dari dua alasan inilah, Allah menyandarkan amalan puasa pada-Nya berbeda dengan amalan lainnya.

Sebab Pahala Puasa, Seseorang Memasuki Surga

Lalu dalam riwayat lainnya dikatakan, Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), “Setiap amalan adalah sebagai kafaroh/tebusan kecuali amalan puasa. Amalan puasa adalah untuk-Ku.”

Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan, “Pada hari kiamat nanti, Allah Ta’ala akan menghisab hamba-Nya. Setiap amalan akan menembus berbagai macam kezholiman yang pernah dilakukan, hingga tidak tersisa satu pun kecuali satu amalan yaitu puasa. Amalan puasa ini akan Allah simpan dan akhirnya Allah memasukkan orang tersebut ke surga.”

Jadi, amalan puasa adalah untuk Allah Ta’ala. Oleh karena itu, tidak boleh bagi seorang pun mengambil ganjaran amalan puasa tersebut sebagai tebusan baginya. Ganjaran amalan puasa akan disimpan bagi pelakunya di sisi Allah Ta’ala. Dengan kata lain, seluruh amalan kebaikan dapat menghapuskan dosa-dosa yang dilakukan oleh pelakunya. Sehingga karena banyaknya dosa yang dilakukan, seseorang tidak lagi memiliki pahala kebaikan apa-apa. Ada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa hari kiamat nanti antara amalan kejelekan dan kebaikan akan ditimbang, satu yang lainnya akan saling memangkas. Lalu tersisalah satu kebaikan dari amalan-amalan kebaikan tadi yang menyebabkan pelakunya masuk surga.

Itulah amalan puasa yang akan tersimpan di sisi Allah. Amalan kebaikan lain akan memangkas kejelekan yang dilakukan oleh seorang hamba. Ketika tidak tersisa satu kebaikan kecuali puasa, Allah akan menyimpan amalan puasa tersebut dan akan memasukkan hamba yang memiliki simpanan amalan puasa tadi ke dalam surga.

Dua Kebahagiaan yang Diraih Orang yang Berpuasa

Dalam hadits di atas dikatakan, “Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya.”

Kebahagiaan pertama adalah ketika seseorang berbuka puasa. Ketika berbuka, jiwa begitu ingin mendapat hiburan dari hal-hal yang dia rasakan tidak menyenangkan ketika berpuasa, yaitu jiwa sangat senang menjumpai makanan, minuman dan menggauli istri. Jika seseorang dilarang dari berbagai macam syahwat ketika berpuasa, dia akan merasa senang jika hal tersebut diperbolehkan lagi.

Kebahagiaan kedua adalah ketika seorang hamba berjumpa dengan Rabbnya yaitu dia akan jumpai pahala amalan puasa yang dia lakukan tersimpan di sisi Allah. Itulah ganjaran besar yang sangat dia butuhkan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا تُقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا

“Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan) nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya.” (Qs. Al Muzammil: 20)

يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ نَفْسٍ مَا عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُحْضَرًا

“Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya).” (Qs. Ali Imron: 30)

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ

“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya.” (Qs. Az Zalzalah: 7)

Bau Mulut Orang yang Berpuasa di Sisi Allah

Ganjaran bagi orang yang berpuasa yang disebutkan pula dalam hadits di atas , “Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.”

Seperti kita tahu bersama bahwa bau mulut orang yang berpuasa apalagi di siang hari sungguh tidak mengenakkan. Namun bau mulut seperti ini adalah bau yang menyenangkan di sisi Allah karena bau ini dihasilkan dari amalan ketaatan dank arena mengharap ridho Allah. Sebagaimana pula darah orang yang mati syahid pada hari kiamat nanti, warnanya adalah warna darah, namun baunya adalah bau minyak kasturi.

Harumnya bau mulut orang yang berpuasa di sisi Allah ini ada dua sebab:

[Pertama] Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Allah di dunia. Ketika di akhirat, Allah pun menampakkan amalan puasa ini sehingga makhluk pun tahu bahwa dia adalah orang yang gemar berpuasa. Allah memberitahukan amalan puasa yang dia lakukan di hadapan manusia lainnya karena dulu di dunia, dia berusaha keras menyembunyikan amalan tersebut dari orang lain. Inilah bau mulut yang harum yang dinampakkan oleh Allah di hari kiamat nanti karena amalan rahasia yang dia lakukan.

[Kedua] Barangsiapa yang beribadah dan mentaati Allah, selalu mengharap ridho Allah di dunia melalui amalan yang dia lakukan, lalu muncul dari amalannya tersebut bekas yang tidak terasa enak bagi jiwa di dunia, maka bekas seperti ini tidaklah dibenci di sisi Allah. Bahkan bekas tersebut adalah sesuatu yang Allah cintai dan baik di sisi-Nya. Hal ini dikarenakan bekas yang tidak terasa enak tersebut muncul karena melakukan ketaatan dan mengharap ridho Allah. Oleh karena itu, Allah pun membalasnya dengan memberikan bau harum pada mulutnya yang menyenangkan seluruh makhluk, walaupun bau tersebut tidak terasa enak di sisi makluk ketika di dunia.

Inilah beberapa keutamaan amalan puasa. Inilah yang akan diraih bagi seorang hamba yang melaksanakan amalan puasa yang wajib di bulan Ramadhan maupun amalan puasa yang sunnah dengan dilandasi keikhlasan dan selalu mengharap ridho Allah. Semoga kita dapat meraih beberapa keutamaan di atas dari amalan puasa Ramadhan yang kita lakukan nanti. Semoga Allah memberi kita selalu ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib dan amalan yang diterima. ^_^

[Pembahasan ini disarikan dari Latho'if Al Ma'arif, Ibnu Rajab Al Hambali, 268-290, oleh Muhammad Abduh Tuasikal]

***

Penyusun Muhammad Abduh Tuasikal

artikel : www.muslim.or.id

Thursday 13 August 2009

SUDAH SAATNYA MENITI MANHAJ SALAF

Halaman ke-1 dari 2

SUDAH SAATNYA MENITI MANHAJ SALAF


Oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaaly



Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta'ala telah memilihkan agama Islam bagi kita, meridhai dan menyempurnakan serta melengkapinya. Allah berfirman:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu” [Al-Maidah :3]

Allah Ta'ala telah menjelaskannya secara gamblang dan menguraikannya dengan keterangan sangat rinci. Allah menerangkan melalui utusan dan bayan (penjelasan) Nabi kita Muhammad. Allah berfirman :

“Dan Kami turunkan kepadamu adz-Dzikr (al Qur'an), agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.”[An-Nahl : 44]

Di antara penjelasan yang beliau sampaikan, yaitu mengenai wajah Islam yang shahih (asli) yang masih utuh, dalam situasi perpecahan umat dan silang pendapat yang menerpa mereka, seperti yang dialami umat sebelumnya. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Bangsa Yahudi telah terpecah-belah menjadi 71 golongan. Dan umat Nashara telah tercerai-berai menjadi 72 golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya berada di neraka, kecuali satu (golongan)," kemudian ada yang bertanya: “Siapakah mereka, wahai Rasulullah,” beliau menjawab: "(Yaitu golongan) yang berada di atas jalanku sekarang ini dan para sahabatku".[1]

Agama Islam saat permulaan penyebarannya sampai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dan hingga kedatangan masa para khulafaur-rasyidin adalah Islam yang satu; Islam (berdasarkan) al Kitab dan as-Sunnah dan ajaran-ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Selanjutnya, muncullah golongan-golongan, aliran-aliran pemikiran dan kelompok-kelompok. Masing-masing menggagas metode tersendiri untuk memahami agama. Silang pendapat ini kebanyakan bersifat ikhtilaf tadhadd (kontradiktif). Golongan-golongan yang banyak dan bermacam-macam ini, masing-masing mengklaim diri berada di atas Islam yang shahih, berada di atas kebenaran; sekalipun mereka adalah ahli bid'ah, saat melangsungkan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan bid'ah-bid'ah (ibadah ciptaan mereka), (dan) mereka menyangka sedang menjalankan sebuah kebajikan. Atas dasar ini, bid'ah lebih berbahaya daripada maksiat. Pasalnya, orang yang bermaksiat tidak berpikir sedang beribadah dengan kemaksiatan-kemaksiatan yang dilakukannya. Sedangkan ahli bid'ah, maka setan menghias amalan bid'ah pada pandangan ahli bid'ah, sehingga ia memandangnya sebagai kebaikan. Karena itu, Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata:

“Bid'ah lebih disukai oleh iblis ketimbang maksiat-maksiat. Karena maksiat masih disesali dengan taubat. Sedangkan bid'ah tidak disesali dengan bertaubat” [2]

Dari sini, mungkin ada yang bertanya atau diam sejenak untuk melontarkan pertanyaan: "Atas dasar pemahaman apa, Islam yang shahih itu dibangun? Apakah merujuk pemahaman kaum Khawarij, pemahaman golongan Mu'tazilah, kerangka berpikir kelompok Murji`ah? Ataukah berdasarkan pemahaman golongan-golongan yang termuat di dalam kitab-kitab tentang firoq (golongan-golongan yang sesat)?

Oleh sebab itu, perlu disampaikan penjelasan mengenai Islam yang shahih sebagaimana telah disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan diridhai oleh-Nya bagi kita, serta yang sudah disampaikan penjelasannya oleh Rasulullah dan memerintahkan kita untuk konsisten di atasnya pada masa munculnya ikhtilaf (perbedaan) dan perpecahan.

Saya ingin mengetengahkan satu masalah penting, yakni, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan para sahabat di masa terjadinya perpecahan umat dalam dua kesempatan (dua hadits), dan (beliau shallallahu 'alaihi wa sallam ) memerintahkan untuk memegangi manhaj para sahabat beliau.

Hadits Pertama. Hadits al 'Irbadh bin Sariyah :

“Sesungguhnya orang yang hidup (panjang) di antara kalian akan menyaksikan perbedaan yang banyak. Maka, kewajiban kalian ialah memegangi Sunnahku dan sunnah para khulafaur-rasyidin sepeninggalku. Pegangilah dengan geraham-geraham kalian . .” [3]

Di sini, beliau memberitahukan adanya ikhtilaf (perbedaan pandangan), dan disertai penyebutan jalan keluar dari perpecahan itu. Yaitu, (memegangi) Sunnah Rasulullah sebagaimana telah diamalkan oleh para sahabat beliau. Yang dimaksud khulafaur-rasyidin (para pengganti yang mendapatkan petunjuk), yaitu para sahabat Nabi. Makna yang dinginkan di sini (dalam hadits di atas, Red.), adalah iradatu fahmin (pengalihan wewenang pemahaman), bukan iradatu hukmin (pengalihan wewenang kekuasaan). Setiap sahabat Nabi merupakan penerus Nabi dalam aspek pemahaman, manhaj dan agamanya.

Hadits Kedua : Hadits 'Amr bin al 'Ash yang diriwayatkan at-Tirmidzi dengan isnad yang hasan.

Umatku akan berpecah-belah menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka, kecuali satu. Kata beliau: "(Yaitu golongan yang berpegang teguh dengan jalan yang) aku dan para sahabatku berada di atasnya sekarang ini".

Tatkala menyebutkan terjadinya perbedaan pendapat tersebut, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan manhaj (metode) yang masih eksis berada di atas jalan dan Sunnah beliau. Yakni, jalan yang telah dipegangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat. Dengan ini, maka memahami Kitabullah dan Sunnah Rasulullah yang berlandaskan pemahaman para sahabat, itulah agama Islam yang diridhai.

Allah berfirman : “Dan Kuridhai Islam menjadi agama kalian”. Maksudnya, yaitu agama yang dijalankan oleh Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat Muhammad radhiallahu'anhum ajma'in. Dan lagi, tugas para sahabat di tengah umat ini ibarat tugas Nabi Muhammad di hadapan para sahabat. Tanggung jawab Nabi di tengah umat ini dan di hadapan para sahabat ialah menjadi saksi atas mereka. Dan keberadaan sahabat di hadapan umat menjadi saksi atas umat ini.

Allah Ta'ala berfirman :

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu” [Al-Baqarah :143]

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah saksi atas umat ini. Setelah beliau wafat, tinggallah sahabat Rasulullah menjadi saksi atas umat. Karena itu, terdapat riwayat dalam Shahih Muslim, dari hadits Abu Musa al Asy'ari, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Bintang-bintang merupakan amanah bagi langit. Apabila bintang-bintang lenyap, maka tibalah perkara yang sudah ditetapkan bagi langit. Dan aku penjaga amanah di tengah sahabatku. Bila aku telah pergi, maka datanglah kepada para sahabatku apa yang dijanjikan kepada mereka. Dan sahabatku penjaga amanah di tengah umatku. Apabila para sahabatku telah pergi, maka datanglah kepada umatku perkara yang dijanjikan kepada mereka” [4]

Maknanya, bila bintang-bintang itu telah pergi, tidak kembali lagi. Dan bila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah pergi, maka datanglah pada para sahabat masalah yang telah dikabarkan kepada mereka. Dan jika para sahabat telah pergi, maka muncullah kejadian yang sudah dijanjikan kepada umatku.

Melalui pemaparan hadits-hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa Islam yang benar ialah yang berlandaskan pada jalan Rasulullah dan para sahabat Rasulullah radhiallahu'anhum ajma'in .

Masalah yang sudah kami kemukakan dan manhaj yang telah kami menepatinya ini, didukung oleh al Qur`an dan dikuatkan oleh as-Sunnah, para sahabat dan generasi Tabi'in, serta para ulama umat Islam. Satu per satu hendak saya sampaikan bukti-buktinya:

Sebagian Dalil Dari Al Qur`an.
Allah Subhanahu wa Ta'ala mewajibkan seorang muslim untuk mengikuti al Kitab dan as-Sunnah berdasarkan pemahaman para sahabat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali” [An Nisa : 115]

Sabilul-mukminin adalah jalan para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam . Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Jamrah: Para ulama berkata, bahwa sabilul-mukminin adalah jalan para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah . . “[At-Taubah :100]

(Dalam ayat ini), Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan dua thabaqat (tingkatan) manusia.
Tingkatan Pertama : Yaitu orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar.
Tingkatan Kedua : Yaitu tingkatan orang-orang yang mengikuti mereka, mengikuti Muhajirin dan Anshar.

Tingkatan Muhajirin dan Anshar adalah para sahabat Rasulullah. Karena yang dimaksud dengan "dahulu" di sini adalah generasinya. Sehingga setiap sahabat, (mereka) mendahului para generasi Tabi'in.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyanjung para generasi Sabiqunal-Awwalun dan orang-orang yang mengikuti mereka. Mengapa Allah Subhanahu wa Ta'ala memuji orang-orang yang mengikuti Sabiqunal-Awwalun? Karena mereka mengikuti jalan kaum Muhajirin dan Anshar.

Dalam ayat ini tersirat sebuah pelajaran manhaj, yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menyebutkan mengenai ittiba’ur-Rasul (mengikuti Rasulullah). Tujuannya, untuk menjelaskan kepada kita semua, bahwa ittiba'ur-Rasul tidak akan terwujud, kecuali dengan perantara, yang mengambil manhaj, istidlal dan talaqqi. Yakni para sahabat radhiallahu'anhum ajma'in . Maka, seorang muslim belum menempuh jalan ittiba’ur-Rasullah sebelum memahami manhaj beliau berdasarkan pemahaman para sahabat Rasulullah.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]
__________
Foote Note
[1]. Hadits shahih, diriwayatkan oleh sejumlah sahabat. Lafazh di atas riwayat dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al Ash. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (2641), al Hakim (1/129-128), Ibnu Wadhdhah dalam al Bida' (hlm. 15-16), al Ajurri dalam asy-Syari'ah (16), al Lalikai dalam Syarhu Ushulil-I'tiqad (147) dll. Dishahihkan oleh Syaikh al Albani di dalam ash-Shahihah. Menjadi shahih karena keberadaan beberapa syahid (penguat). Al Hakim mengatakan tentang hadits ini: "Ini adalah hadits penting dalam masalah ushul". Syaikh al Albani di kitab yang sama, mengutip tash-hih dari para ulama sebelumnya. Misalnya Ibnu Hajr, Ibnu Taimiyah, asy-Syathibi, al 'Iraqi rahimahullah .
[2]. Syarhul-Ushulil-I'tiqad, al Lalikai (1185). Syaikhul-Islam menerangkan maksud pernyataan di atas dengan berkata: "Sesungguhnya ahli bid'ah mengikuti ajaran yang tidak disyari'atkan Allah dan Rasul-Nya. Setan telah memperindah amalan buruknya itu, hingga ia memandangnya baik. Ia tidak bertaubat selama menilai amalannya baik. Sebab, permulaan taubat dimulai dengan ilmu, bahwa tindakannya buruk untuk disesali. Atau lantaran ia meninggalkan suatu yang baik, yang wajib maupun sunnah. Dia bertaubat dan berjanji melaksanakannya. Selama orang itu melihat tindakannya merupakan amalan baik, padahal amalannya buruk, karenanya, ia tidak bertaubat". Lihat Majmu' al Fatawa (10/9). Dinukil dari Ilmu Ushulil-Bida' karya Ali bin Hasan al Halabi, hlm. 218.
[3]. Hadits ini, sebagaimana keterangan Syaikh Syu'ab al Arnauth diriwayatkan oleh Abu Dawud (4607), at-Tirmidzi (2676), Ahmad (4/126-127), ad-Darimi (1/144), Ibnu Majah (43), Ibnu Abi Ashim di dalam as-Sunnah (27), ath-Thahawi dalam Syarhu Musykili Atsar (2/69), al Baghawi (102), al Ajurri dalam asy-Syari'ah (46), al Baihaqi (6/541), al Lalikai dalam Syarhul-Ushulil-I'tiqad (81), al Marwazi dalam as-Sunnah (69), (72), Abu Nu'aim dalam al Hilyah (5/220) (10/115), al Hakim (1/95-97) dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban (5). Hadits ini, dikatakan oleh Syaikh Abdul Muhsin al 'Abbad, ulama hadits di kota Madinah sebagai hadits yang shahih dalam pandangan Ahli Sunnah. At-Tirmidzi berkata: "Hadits hasan shahih". Al Hakim berkata: "Hadis shahih tidak ada cacatnya," dan adz-Dzahabi menyepakatinya. Abu Nu'aim berkata: "Ia adalah hadits jayyid, termasuk hadits shahih dari orang-orang Syam." Lihat Jami'ul-Ulum wal-Hikam (2/109). Dihasankan oleh al Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (102) dan al Albani di dalam ta'liq kitab as-Sunnah karya Ibnu Abi Ashim (1/18-19). Keterangan ini dikutip dari al Intishar li Ahlis-Sunnah wal-Hadits karya Syaikh Abdul Muhsin al Abbad. Sengaja penterjemah mengutip secara lengkap, disebabkan ada yang meragukan keabsahan hadits ini sebagai hujjah.
[4]. HR Muslim (2531). Maksudnya, seperti diungkapkan oleh al Imam an-Nawawi dalam Syarhu Shahih Muslim, (secara ringkas) selama bintang-bintang itu tetap ada, maka langit pun juga demikian. Jika bintang-bintang sudah berjatuhan pada hari Kiamat, maka langit pun terpecah dan lenyap. Hal-hal yang dijanjikan kepada para sahabat, yaitu peristiwa-peristiwa fitnah, peperangan, timbulnya gejala keluar dari agama (murtad) dari kalangan orang-orang Badui, perpecahan hati dan peristiwa lainnya yang sudah diperingatkan Nabi dengan terang-terangan. Sedangkan kejadian yang dijanjikan kepada umatnya, yaitu munculnya bid’ah (perkara-perkara baru dalam agama) dan fitnah. Lihat Syarhu Shahih Muslim.


Halaman ke-2 dari 2


Sebagian Dalil Dari Hadits.
Sedangkan hadits-hadits yang menyatakan kewajiban mengikuti al Kitab dan as-Sunnah dengan merujuk pemahaman para sahabat yang mulia sangat banyak. Sebagian sudah dipaparkan. Di antaranya, hadits al ‘Irbadh bin Sariyah:

“Sesungguhnya orang yang hidup (panjang) di antara kalian akan menyaksikan perbedaan yang banyak. Maka, kewajiban kalian ialah memegangi Sunnahku dan sunnah para khulafaur-rasyidin sepeninggalku. Pegangilah dengan geraham-geraham kalian . . .’

Maksudnya, pegangi sunnah para sahabatku. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan 'adhdhu 'alaihima (pegangi keduanya), akan tetapi beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan 'adhdhu alaiha, pegangi dia, dijadikan satu kesatuan dalam satu kata ganti, Red.). Artinya, sunnah para sahabat merupakan sunnah beliau juga. Merekalah yang menyampaikan sunnah beliau. Orang-orang yang menyampaikan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah; mereka adalah para sahabat Nabi.

Oleh karena itu, para ulama menetapkan, siapa saja yang menikam kehormatan para sahabat, ia adalah zindiq. Maksudnya, dengan mencela atau berkomentar miring terhadap sahabat atau mengkafirkan mereka, (maka) orang-orang tersebut (adalah) zindiq. Abu Zur'ah rahimahullah pernah ditanya tentang orang-orang yang menikam kehormatan para sahabat. Beliau rahimahullah menjawab:

Mereka itu ingin menciderai reputasi merusak kehormatan para saksi kita untuk menggugurkan al Kitab dan as-Sunnah. Padahal mereka itulah (yang) lebih pantas ditikam kehormatannya. Mereka itu kaum zindiq.[5]

Mereka itu ingin menghancurkan kedudukan orang-orang yang telah menyampaikan al- Qur`an dan as-Sunnah kepada kita. (Padahal), justru mereka itulah yang lebih pantas untuk dijatuhkan kehormatannya.

Hadits yang lainnya masih banyak. Misalnya, hadits:

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku. Kemudian generasi selanjutnya, dan kemudian generasi selanjutnya” [6]

Aspek puncak kebaikan pada hadits ini, ialah ditinjau dari aspek ilmu dan pemahaman, bukan (dari aspek) kebaikan fisik, nasab (keturunan) atau lainnya. Kemudian datang generasi sahabat. Yang menjadikan manhaj dan pemahaman mereka sebagai hujjah di hadapan umat setelahnya. Terutama, saat mereka beradu argumentasi dengan golongan-golongan sesat.

Sebut saja 'Abdullah bin Mas'ud. Suatu hari, beliau memasuki masjid Kufah. Di dalamnya, beliau menyaksikan sekumpulan orang-orang duduk melingkar sambil mengucapkan tasbih, takbir dan tahmid dengan hitungan kerikil-kerikil. (Berikut dialog antara sahabat 'Abdullah bin Mas’ud dengan mereka).

“Beliau ('Abdullah bin Mas'ud) bertanya (kepada mereka),"Perbuatan apakah yang sedang aku lihat kalian mengerjakannya?”
Mereka menjawab,"Wahai Abu Abdir-Rahman! Ini adalah kerikil-kerikil. Kami membaca takbir, tahlil dan tasbih dengannya."
Maka beliau menimpali: "Hitung saja kesalahan-kesalahan kalian. Sesungguhnya aku menjamin kebaikan-kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepatnya kalian terseret kepada kebinasaan. Para sahabat Nabi kalian pun masih banyak. Lihatlah, baju-baju Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam belum rusak. Periuk-periuk beliau belum pecah”.
Mereka berdalih,"Kami hanya ingin berbuat baik saja."
Beliau pun berkata: "Berapa banyak orang menginginkan kebaikan, akan tetapi tidak meraihnya atau tidak sampai kepadanya".

Syahid (bukti yang bisa dipegangi) dari pernyataan itu ialah, "sedangkan para sahabat masih banyak". Seandainya kalian berada di atas jalan kebenaran, sudah pasti ada sahabat yang bersama dengan kalian. Ketika tidak ada seorang pun dari mereka yang bersama kalian, berarti kalian berada dalam pintu kesesatan.

Lihatlah, logika berikut yang dipakai 'Abdullah bin Mas'ud dalam membungkam mereka. Beliau mengatakan selanjutnya :

"Demi Allah, wahai orang-orang, kalian itu berada di atas ajaran, kalau tidak lebih baik dari ajaran Muhammad (dan ini merupakan bentuk kekufuran) atau kalian sedang membuka pintu kesesatan. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kami ada kaum yang membaca al Qur`an tapi tidak menembus kerongkongan mereka. Demi Allah, aku tidak tahu, mungkin kebanyakan dari kalian termasuk mereka ".

Perawi hadits ini, 'Amr bin Salimah berkata: "Kami menyaksikan kebanyakan orang-orang itu mememerangi kami di perang Nahrawan bersama Khawarij".[7]

Jadi, ketika mereka keluar dari pemahaman para sahabat Rasulullah, hal itu menyebabkan mereka khuruj (melepaskan diri) dari umat Rasulullah.

Juga cara yang ditempuh oleh Ibnu 'Abbas radhiallahu'anhu saat Khalifah Ali radhiallahu'anhu mengutusnya menghadapi orang-orang Khawarij.

Mereka bertanya,"Darimana engkau?"

Beliau (Ibnu 'Abbas radhiallahu'anhu ) menjawab,"Aku datang dari saudara sepupu Rasulullah dan menantu beliau dan dari para sahabat. Kepada merekalah al Qur`an turun. Mereka adalah orang-orang yang lebih berilmu daripada kalian. Dan tidak ada seorang pun dari mereka yang menyertai kalian".

Lihatlah, 'Abdullah bin Mas'ud dan Ibnu 'Abbas mendesak pionir-pionir kaum Khawarij dengan manhaj para sahabat Rasulullah, dan menjadikan pemahaman para sahabat sebagai sumber argumentasi di hadapan mereka.

Setelah itu, melalui pergantian generasi demi generasi, ternyata kita menjumpai para ulama di setiap generasi dan abad itu, mereka bersepakat satu kata dalam masalah ini. Yaitu, keharusan memahami Kitabullah dan Sunnah Rasulullah dengan merujuk (kepada) pemahaman para sahabat, hingga pada masa kita sekarang ini.

Kita melihat ulama-ulama besar pada zaman sekarang, seperti Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, Syaikh Bin Baz, Syaikh Ibnu 'Utsaimin; mereka semua sepakat, bahwa seorang muslim seharusnya memahami Kitabullah dan Sunnah Rasulullah berdasarkan pemahaman para sahabat Nabi. Inilah yang disebut manhaj Salaf. Pasalnya, bila menyaksikan keadaan golongan-golongan yang ada, baik pada zaman dahulu atau firqoh pada masa sekarang ini, sangat bertentangan dengan manhaj para sahabat.
Ambil contoh, Khawarij. Perkara prinsip (yang ada) pada mereka, (yaitu) mengkafirkan para sahabat dan bahkan memeranginya. Mereka telah melakukan pemberontakan terhadap 'Utsman, dan akhirnya membunuh beliau. Mereka juga melancarkan pemberontakan kepada 'Ali, dan akhirnya membunuh beliau. Mereka memerangi para sahabat dan membunuhi dan mengkafirkannya. Bagaimana bisa dikatakan, mereka berada di atas manhaj yang sesuai dengan manhaj para sahabat Nabi yang sudah mereka perangi dan mereka bunuh?

Begitu pula, kaum Syi'ah, yang telah mengkafirkan para sahabat Nabi, kecuali tiga atau tujuh orang sahabat saja yang selamat dari vonis mereka. Salah seorang ulama Syi'ah melontarkan perkataan: "Telah binasa para sahabat Nabi, kecuali tiga atau tujuh orang saja". Mereka selalu melaknat Abu Bakr dan 'Umar. Mereka juga memiliki bacaan sholawat yang berbunyi: "Ya Allah, laknatlah dua berhala Quraisy, jibt dan thaghut mereka (Abu Bakr dan Umar), yang telah melakukan tahrif (perubahan) terhadap kitab-Mu". Bagaimana mungkin Syi'ah berada di atas pemahaman para sahabat Rasulullah?!

Atau lihat saja Mu'tazilah. Tokoh besarnya, Washil bin 'Atha` berkomentar miring terhadap sahabat 'Ali, az-Zubair dan Thalhah yang telah menerima kabar gembira dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa masuk syurga.

Ia (Washil bin 'Atha`) berkata,"Seandainya Thalhah, az-Zubair dan 'Ali bersaksi mengenai setumpuk sayuran di depanku, aku tidak akan menerima persaksiannya."

Bagaimana mungkin mereka berada di atas manhaj para sahabat, sebab mereka saja menolak persaksian sahabat?!

Lihat juga pentolan Mu'tazilah lainnya, (yaitu) ‘Amr bin 'Ubaid. (Dia) berkomentar tentang sahabat dengan berkata: "(Mereka itu) amwatun ghairu ahya` (orang-orang mati, tidak hidup)".

Menikam dan menghina para sahabat Rasulullah! Jadi, golongan-golongan itu, banyak yang melancarkan penghinaan kepada sebagian sahabat.

Demikian pula, bila kita perhatikan kelompok-kelompok pergerakan pada zaman sekarang ini; akan kita jumpai sebagian pendiri dan tokoh-tokohnya menjatuhkan kehormatan sebagian sahabat. Ada yang menyatakannya dengan sindiran. Contoh-contohnya sangat banyak.

Coba lihat, penulis kitab adh-Dhilal (Dhilalul-Qur`an). Penulis kitab itu (telah) menghina sahabat 'Amr bin al 'Ash dan Mu'awiyyah. Bahkan menganggap kekhilafahan (kekuasaan) Khalifah 'Utsman sebagai pengisi kekosongan belaka antara 'Umar dan 'Ali. Artinya, orang ini mengesampingkan kekhilafahan 'Utsman.

Sebagian lagi melontarkan celaan kepada sahabat Mu'awiyyah. Sejumlah orang begitu meremehkan masalah penghinaan yang dialamatkan kepada beliau. Sebagian ulama Salaf berkata: "Mu'awiyyah adalah sitr (kain pelindung) para sahabat. Bila penutup ini sudah tersibak, maka pintu itu akan termasuki". Maksudnya, bila orang sudah berani mencaci-maki Mu'awiyyah, maka pada gilirannya, ia akan terjerumus dalam cacian yang dilontarkan kepada Abu Musa al Asy'ari, 'Utsman, 'Ali dan sahabat lainnya.

Kita tidak akan mendapati golongan yang menghormati para sahabat dan mengagungkan serta menilai mereka sebagai orang-orang 'udul (adil, bersih), kecuali Ahli Sunnah wal Jama'ah. Mereka itulah yang berjalan di atas pemahaman Salafush-Shalih, manhaj ahli hadits.

Apakah berarti golongan-golongan itu telah keluar dari agama Islam? Tidak demikian adanya.

Ibnul-Qayyim telah mengeluarkan pernyataan yang layak menjadi kaidah emas dalam masalah ini. Beliau mengatakan, syariat ada tiga macam: aturan syari'at yang munazzal (diturunkan), aturan syari'at yang muawwal (hasil takwil), dan syari'at mubaddal (yang telah dirubah). Golongan yang menjalankan syari'at yang munazzal (yang diturunkan) oleh Allah kepada Rasulullah adalah Ahli Sunnah wal Jama'ah. Mereka itulah yang mengamalkan al Qur`an dan as-Sunnah dengan dasar pemahaman Salaful-Ummah. Sedangkan manhaj-manhaj atau golongan lainnya, kalau tidak bertumpu pada syari'at yang sudah ditakwilkan, maka berlandaskan syari'at yang sudah mengalami perubahan. Setiap golongan itu, hukumnya tergantung dengan kondisinya.

Meskipun sudah sangat jelas kebenaran manhaj Salaf ini, masih saja ada orang yang melontarkan tuduhan-tuduhan, syubuhat, keraguan. Semoga Allah memberikan petunjuk kepada umat Muhammad dan meneguhkan kita di atas manhaj yang benar ini.

Washallallahu ‘ala Nabiyyi Muhammad wa ‘ala alihi wa Shahbihi wa sallam.

[Ceramah umum yang beliau disampaikan Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali di Masjid Jakarta Islamic Centre, pada hari Ahad, 23 Muharram 1427 H bertepatan dengan 11 Februari 2007. Diterjemahkan secara bebas oleh Ustadz Abul Minhal]

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]
__________
Foote Note
[5]. Diriwayatkan oleh al Khathib al Baghdadi dalam al Kifayah fi ‘Ilmir-Riwayah, hlm. 49. Dikutip dari al Intishar lish-Shahbi wal al . . ., karya Dr. Ibrahim ar-Ruhaili, hlm. 97.
[6]. HR al Bukhari (2652) dan Muslim (2533), (211).
[7]. Riwayat ad-Darimi (1/68-69). Dikutip dari Ilmu Ushulil-Bida’, hlm. 92



www.almanhaj.or.id

MENGAPA HANYA MANHAJ SALAFI SAJA

Halaman ke-1 dari 3

MENGAPA HANYA MANHAJ SALAFI SAJA

Oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaaly

Sangat banyak dalil-dalil dari kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta perkataan para sahabat yang menjelaskan akan pujian terhadap orang yang mengikuti jalan As-Salaf dan celaan terhadap orang yang tidak melakukan hal demikian. Dan ini merupakan perkara-perkara yang menguatkan kewajiban mengikuti manhaj Salaf serta menegaskan bahwa dia merupakan jalan keselamatan dan kebahagian hidup. Di sini kami melemparkan beberapa belas anak panah kepada orang yang ragu lagi bimbang untuk membentangkan jalan kaum mukminin dari pohon keyakinan sehingga memetik manisnya iman dari atas pohon yang subur dan berteduh dibawah kerindangannya dalam buaian dan wanginya.

Pertama
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar" [At-Taubah : 100]

Sisi pendalilannya adalah, Rabb sekalian manusia telah memuji orang yang mengikuti sebaik-baik manusia maka jelaslah bahwa mereka (Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar ) jika mengatakan satu perkataan lalu diikuti oleh orang yang mengikutinya maka haruslah hal itu merupakan hal yang terpuji dan berhak mendapatkan keridhoan, dan seandainya mengikuti mereka tidak memiliki keistimewaan dari selain mereka maka dia tidak berhak mendapatkan pujian dan keridhoan.

Kedua
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah" [Ali Imran :110]

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan keutamaan atas sekalian umat-umat yang ada dan hal ini menunjukkan keistiqomahan mereka dalam setiap keadaan ; karena mereka tidak menyimpang dari syari'at yang terang benderang, sehingga Allah Subhanahu wa Ta'ala mempersaksikan bahwa mereka memerintahkan setiap kemakrufan (kebaikan) dan mencegah setiap kemungkaran, hal itu menunjukkan dengan pasti bahwa pemahaman mereka adalah hujjah atas orang yang setelah mereka sampai Allah Subhanahu wa Ta'ala mewarisi bumi dan seisinya.

Jika ditanya : Ini umum pada umat Islam seluruhnya tidak khusus untuk generasi sahabat saja.

Saya jawab : Bahwa merekalah orang yang pertama yang menjadi obyek penderita, dan tidak masuk dalam konteks ini orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik kecuali dengan kias (analogi) atau dengan dalil sebagaimana dalil pertama. Dan seandainya konteksnya umum -inipun benar- maka para sahabat adalah yang pertama masuk dalam keumuman konteks ayat, karena mereka orang pertama yang menerima dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa perantara (langsung) sedang mereka adalah orang-orang yang langsung berkenaan dengan wahyu, sehingga mereka lebih pantas dimasukkan dalam konteks ayat daripada selainnya karena sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala jadikan sebagai sifat mereka tidak memiliki sifat -sifat tersebut dengan sempurna kecuali mereka. Dan kesesuaian sifat terhadap kondisi yang nyata merupakan bukti bahwa mereka lebih pantas dari selainnya untuk dipuji. Hal itu dijelaskan oleh :

Ketiga
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Sabik-baiknya manusia adalah generasiku [1] kemudian generasi sesudahnya kemudian generasi sesudahnya lagi, kemudian datang satu kaum yang persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya" [Mutawatir, sebagaimana telah ditegaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Al-Ishobah 1/12 dan Al-Muanawiy dalam Faidhul Qadir 3/478 serta disetujui oleh Al-Kataaniy dalam kitab Nadzmul Mutanatsir hal.127]

Apakah keutamaan yang ditetapkan kepada generasi sahabat ini ada pada warna kulit atau bentuk tubuh atau harta mereka ... dst ?

Tidak akan ragu bagi orang berakal yang telah memahami Al-Kitab dan As-Sunnah bahwa bukan itu semua yang dimaksud ; karena tolak ukur keutamaan dalam Islam adalah ketakwaan hati dan amal shalih, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Artinya : Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kami di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu" [Al-Hujuraat : 13]

Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak melihat kepada bentuk kalian dan harta kalian akan tetapi melihat kepada hati-hati kalian dan amalan kalian" [Hadits Shahih Riwayat Muslim 16/121 -Nawawiy]

Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melihat kepada hati-hati para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mendapatkannya sebagai sebaik-baik hati diantara para hamba setelah hati Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian Allah memberikan kepahaman yang tidak didapatkan oleh orang-orang yang menyusul mereka, oleh karena itu apa yang para sahabat pandang sebagai kebaikan maka dia adalah kebaikan di sisi Allah Subahanahu wa Ta'ala dan apa yang mereka pandang sebagai kejelekan maka dia adalah kejelekan di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Abdullah bin Mas'ud berkata : Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melihat kepada hati-hati para hambaNya dan mendapatkan hati Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebaik-baik hati para hamba lalu memilihnya untuk dirinya dan diutus sebagai pembawa risalahNya, kemudian melihat kepada hati-hati para hamba setelah hati Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mendapatkan hati-hati para sahabat beliau sebaik-baik para hamba lalu menjadikan mereka sebagai pembantu NabiNya, mereka berperang di atas agamaNya, maka apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dia baik di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala dan apa yang mereka pandang kejelekan maka dia adalah kejelekan di sisi Allah Subahanhu wa Ta'ala. [2]

Dari Abu Juhaifah, beliau berkata.

"Artinya : Saya telah bertanya kepada Ali bin Abi Thalib : 'Apakah kalian memiliki kitab ? Beliau menjawab : 'Tidak kecuali Kitabullah atau pemahaman yang diberikan kepada seorang muslim atau apa yang ada di lembaran ini[3]. Saya bertanya lagi : Apa yang ada di lembaran tersebut ? Beliau menjawab ; Diyat, pembebasan tawanan dan (pernyataan) bahwa seorang muslim tidak di bunuh dengan sebab orang kafir" [Hadits Shahih Riwayat Bukhari 1/204 - Al-Fath]

Dengan demikian maka pemahaman para sahabat terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah merupakan hujjah atas orang yang setelahnya sampai akhir umat ini, oleh karena itu mereka menjadi saksi Allah Subhanahu wa Ta'ala dipermukaan bumi ini, hal ini dijelaskan berikut.

Keempat

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu" [Al-Baqarah : 143]

Di sini Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan mereka umat pilihan dan umat yang adil karena mereka adalah umat yang paling utama dan paling adil dalam perkataan, perbuatan dan kehendaknya, sehingga mereka berhak menjadi para saksi atas manusia dan dengan demikian Allah Subhanahu wa Ta'ala memuji mereka, mengangkat nama mereka dan menerima mereka dengan baik. Dan saksi yang diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah yang bersaksi dengan ilmu dan kebenaran sehingga mengkhabarkan kebenaran yang berdasarkan ilmunya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa'at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya)" [Az-Zukhruf : 86]

Apabila persaksian mereka diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala maka tidak diragukan lagi bahwa pemahaman mereka dalam agama merupakan hujjah atas orang yang setelah mereka, karena ayat ini telah menjelaskan penunjukkan tersebut secara mutlak dan umat Islam tidak memutlakkan sifat adil pada satu generasi kecuali kepada generasi sahabat, karena Ahlus Sunnah wal Jama'ah memberikan sifat adil pada mereka secara mutlak dan menyeluruh sehingga mereka mengambil dari sahabat secara riwayat dan ilmu seluruhnya tanpa kecuali. Berbeda dengan selain sahabat, maka Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak memberikan sifat adil ini kepada mereka kecuali yang telah diakui keimanan dan keadilannya. Kedua hal ini tidak diberikan kepada seseorang kecuali jika dia berjalan di atas jejak para sahabat.

Maka jelaslah dengan demikian bahwa pemahaman para sahabat merupakan hujjah atas selainnya dalam pengarahan nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah oleh karena itu diperintahkan untuk mengikuti jalan mereka, hal ini dijelaskan dalam.

Kelima
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku" [Luqman : 15]

Setiap sahabat adalah orang yang kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, lalu Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan kepada mereka hidayah (petunjuk) untuk mendapatkan perkataan yang baik dan amalan shalih dengan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira ; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal" [Az-Zumar : 17-18]

Maka wajib mengikuti jalan mereka dalam memahami agama Allah baik Al-Qur'an ataupun As-Sunnah, oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta'a mengancam orang yang tidak mengikuti jalan mereka dengan neraka jahannam seburuk-buruknya tempat kembali, hal ini dijelaskan.

[Disalin dari Kitab Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, edisi Indonesia Mengapa Memilih Manhaj Salaf (Studi Kritis Solusi Problematika Umat) oleh Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaly, terbitan Pustaka Imam Bukhari, penerjemah Kholid Syamhudi]
__________
Foote Note.
[1]. Tertulis dalam banyak buku hadits ini degan lafadz : "Sebaik-baiknya generasi". Saya mengatakan bahwa lafadz-lafadz ini lemah dan yang benar apa yang telah saya tulis ini.
[2]. Dikeluarkan oleh Ahmad I/379, Ath-Thoyalisiiy dalam musnadnya hal.23 dan Al-Khotib Al-Baghdadiy dalam Al-faqih wal Mutafaqqih I/166 secara mauquf dengan sanad yang hasan. Kata-kata terakhir dari atsar ini telah masyhur sebagai hadits marfu' dan itu tidak benar sebagaimana telah dijelaskan para imam dan itu hanyalah dari perkataan Ibnu Mas'ud, sebagaimana telah saya jelaskan dalam kitab Al-Bid'ah wa Atsaruha fil Umat, hal.21-22 silahkan dilihat.
[3]. Ini adalah nash yang cukup tegas dari Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib menghancurkan kebatilan syiah rafidhah yang menisbatkan diri mereka kepada keluarga Nabi (ahlil bait) secara dzolim dan menipu ketika mengaku-ngaku bahwa ahlil bait memiliki kitab yang berukuran tiga lipat dari Al-Qur'an yang berada di tangan kita yang mereka namakan Mushaf Fatimah. Lihat Bughyatul Murtaab karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hal.321-322



Halaman ke-2 dari 3

Keenam
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali" [An-Nisaa : 115]

Sisi pendalilannya adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengancam orang yang mengikuti selain jalan kaum mukminin sehingga menunjukkan bahwa mengikuti jalan mereka dalam memahami syari'at adalah wajib dan menyelisihinya adalah kesesatan.

Jadi dikatakan : Ini adalah Istidlal (pendalilan) dengan dalil khithaab dan hal itu bukanlah hujjah, maka kami katakan ; Dia itu dalil, dan dibawah ini akan dijelaskan dalilnya.

[a]. Dari Ya'la bin Umaiyah beliau berkata : Saya telah bertanya kepada Umar.

"Artinya : Maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir" [An-Nisaa : 101]

Padahal manusia telah aman ? Umar berkata : "Saya telah heran seperti yang kamu herankan, lalu saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hal tersebut dan beliau menjawab :

"Artinya : Shadaqah yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan kepada kalian maka terimalah shadaqahNya" [Hadits Riwayat Muslim 5/196 - An-Nawawiy]

Kedua sahabat ini yaitu Ya'la bin Umaiyah dan Umar bin Al-Khathab memahami dari ayat ini bahwa qashar shalat terkait dengan syarat takut, sehingga jika manusia telah aman wajib menyempurnakan shalat dan ia adalah dalil khithaab yang dinamakan juga dengan Mafhum Mukhalafah.

Lalu Umar bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau Shallallahu 'alihi wa sallam menyetujui pemahamannya akan tetapi beliau jelaskan kepada Umar bahwa hal itu tidak dipakai disini ; karena Allah Subahanahu wa Ta'ala telah bershadaqah kepada kalian maka terimalah shadaqahnya tersebut.

Seandainya pemahaman Umar tidak benar tentunya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sejak awal tidak mendiamkannya kemudian mengarahkan pengarahan ini dan ada pepatah yang mengatakan : Taujih (pengarahan) bagian dari penerimaan.

[b]. Dari Jabir dari Ummu Mubasyir bahwa dia telah mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata di hadapan Hafshah.

"Artinya : Tidaklah masuk neraka seorangpun -insya Allah- dari Ashhab Syajaroh yang berbaiat dibawahnya"
Dia berkata : benar wahai Rasulullah, lalu beliau menghardiknya lalu berkata Hafshah :

"Artinya : Dan tidak ada seorangpun daripadamu, melainkan mendatangi neraka itu" [Maryam : 71]

Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : Allah telah berfirman.

"Artinya : Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa dan membiarkan orang-orang yang zhalim di dalam naar dalam keadaan berlutut" [Maryam : 72]

Di sini Ummul Mukminin Hafshah memahami dari ayat ini bahwa semua manusia akan masuk neraka, kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meluruskan hal itu dengan lanjutan ayat tersebut yaitu :

"Artinya : Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa" [Maryam : 72]

Pada awalnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengakui kebenaran pemahaman Hafshah, kemudian menjelasakan bahwa konteks kata " tidak masuknya neraka" (dalam hadits itu) berbeda dengan konteks kata "wurud" (datangnya orang ke neraka yan ada dalam ayat tersebut) dan menjelaskan bahwa yang pertama itu khusus untuk orang-orang shalih yang bertaqwa yakni mereka tidak merasakan adzab neraka dan masuk ke syurga dengan melewatinya tanpa disentuh sedikitpun siksaan dan adzab, sedangkan selain mereka tidak demikian.

Maka jelaslah Alhmadulillah bahwa dalil khithaab adalah hujjah yang diakui dan dapat disandarkan dalam pemahaman.

Cukuplah bagimu bahwa firman Allah :

"Artinya : Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min" [An-Nisaa : 115]

Bukanlah dalil khithab akan tetapi hal itu merupakan argumentasi dengan Taqsiimin Aqliy (pembagian secara logika), karena tidak ada pilihan yang ketiga antara mengikuti jalan orang-orang mukmin dan mengikuti selain jalan mereka.

Maka ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang ikut selain jalan mereka maka wajiblah mengikuti jalan mereka, ini sudah sangat jelas sekali.

Jika ada yang membantah : Ada di antara dua pilihan tersebut pilihan yang ketiga yaitu tidak ikut kedua-keduanya.

Maka saya jawab : Ini merupakan pendapat yang sangat lemah sekali ; karena tidak mengikuti keduanya sama sekali berarti mengikuti jalan selain mereka (orang-orang mukmin) secara pasti karena firman Allah :

"Artinya : Maka tidak ada sesudah kabenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)" [Yunus : 32]

Jelaslah di sini bahwa hanya ada dua pilihan dan tidak ada pilihan yang ketiga. Jika dikatakan : Kami tidak setuju bahwa mengikuti selain jalan orang-orang mukmin berhak mendapat ancaman tersebut (dalam ayat) kecuali dibarengi dengan penentangan terhadap Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam sehinnga hal itu tidak menunjukkan pengharaman mengikuti selain jalan kaum mukminin secara mutlak akan tetapi harus ada penentangan Rasulnya.

Jawabannya ; Telah diketahui bahwa menentang Rasul diharamkan secara tersendiri dan terpisah karena adanya peringatan atas hal tersebut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya" [Al-Anfaal : 13]

Maka ayat ini menunjukkan ancaman tersebut ada untuk setiap dari keduanya secara tersendiri dan pensifatan ini (mengikuti selain jalan kaum mukminin) termasuk yang mendapat ancaman secara tersendiri dan hal itu ditinjau dari hal-hal berikut ;

[a]. Mengikuti selain jalan kaum mukminin seandainya tidak diharamkan secara tersendiri maka tidak diharamkan bersama penentangan seperti penyelamat yang lainnya.
[b]. Mengikuti selain jalan kaum mukminin seandainya tidak termasuk dalam ancaman tersebut secara tersendiri maka (pensifatan tersebut) hanyalah sia-sia dan tidak ada faedahnya untuk disebutkan, maka jelaslah bahwa penghubungannya (dalam konteks ayat tersebut) adalah dalil tersendiri seperti yang awal.

Jika ada yang mengatakan : Kami tidak sependapat jika ancaman tersebut berlaku untuk semua orang yang mengikuti selain jalan kaum mukminin secara mutlak akan tetapi hal itu berlaku setelah jelas baginya petunjuk, karena Allah menyebut penentangan Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mensyaratkan padanya kejelasan petunjuk kemudian dihubungkan dengan mengikuti selain jalan kaum mukminin, hal itu menunnjukkan bahwa kejelasan petunjuk merupakan syarat dalam ancaman terhadap orang yang mengikuti selain jalan kaum mukminin.

Jawabanya : Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala

"Artinya : Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min" [An-Nisaa : 115]

Ma'thuf (disandarkan/dihubungkan) dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya" [An-Nisaa : 115]

Maka hal itu menunjukkan bahwa kait (syarat) pada awal ayat bukanlah syarat bagi yang kedua akan tetapi kata hubung tersebut hanya untuk menunjukkan kesatuan dan kesamaan dalam hukum yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali" [An-Nisaa : 115]

Hal ini menunjukkan bahwa setiap sifat dari kedua sifat tersebut mendapatkan ancaman tersendiri.

Hal ini di bawah ini dapat menunjukkannya.

Kejelasan petunjuk (kebenaran) merupakan syarat dalam (hukum) penentangan Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena orang yang tidak mengetahui petunjuk (kebenaran) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak dikatakan menentang sedangkan mengikuti jalan kaum mukminin merupakan petunjuk (kebenaran) itu sendiri.

Konteks ayat ini adalah untuk mengagungkan dan memuliakan kaum mukminin, maka seandainya mengikuti jalan mereka disyaratkan dengan datangnya kejelasan petunjuk (kebenaran) maka tidaklah mengikuti jalan mereka ini lantaran sebagai jalan mereka akan tetapi karena telah datang kejelasan petunjuk (kebenaran) dan jika demikian tidak ada faedah mengikuti jalan mereka.

Dengan demikian jelaslah bahwa mengikuti jalan kaum mukminin merupakan jalan keselamatan dan pemahaman para sahabat dalam agama adalah hujjah atas selain mereka, sehingga orang yang menentangnya maka telah menghendaki kesesatan dan berjalan di tempat yang berbahaya, maka cukuplah Jahanam (neraka) sebagai sejelek-jeleknya tempat tinggal dan kembalinya. Inilah kebenaran maka berpegang teguhlah kepadanya dan tinggalkanlah jalan-jalan yang menyimpang, dan hal itu juga dijelaskan oleh.

Ketujuh
Firman Allah Subhnahu waa Ta'ala

"Artinya: Barangsiapa berpegang teguh kepada Dienullah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus".[Ali Imran : 101]

Para sahabat merupakan orang-orang yang berpegang pada tali Allah, karena Allah adalah wali orang-orang yang berpegang teguh kepadaNya sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya: Dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu,maka Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong".[Al-Hajj :78]

Dan telah diketahui kesempurnaan perlindungan dan pertolongan Allah kepada mereka yang menunjukan bahwa mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, mereka adalah orang-orang yang memberi petunjuk dengan persaksian Allah dan menyampaikan kebenaran merupakan satu kewajiban menurut syariat, akal dan fitrah, oleh karena itu menjadikan mereka sebagai imam-imam bagi kaum mutaqin (orang-orang yang bertaqwa ) karena kesabaran dan keyakinan mereka dan itu dijelaskan oleh:

Kedelapan
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala

"Artinya : Danjadikanlah kami imam bagi orang yang bertaqwa". [Al-Furqan : 74]

Setiap orang yang bertaqwa akan diikuti oleh mereka sedangkan ketaqwaan adalah wajib sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah dalam banyak ayat yang sulit untuk memaparkannya pada kesempatan ini, sehingga jelaslah kewajiban mengikuti mereka dan penyimpangan dari jalan meraka merupakan pintu fitnah dan musibah.

Kesembilan
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala

"Artinya : Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami".[As-Sajadah : 24]

Sifat ini diberikan untuk para sahabat Musa dimana Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengkhabarkan Bahwa Dia telah menjadikan mereka sebagai imam-imam yang diikuti oleh orang yang setelah mereka dengan kesabaran dan keyakinannya, karena keimaman (kepemimpinan) di dunia dapat dicapai dengan kesabaran dan keyakinan.

Sudah pasti para sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih berhak dan pantas mendapat sifat ini dari para sahabat Musa tersebut karena mereka lebih sempurna keyakinan dan lebih besar kesabarannya dari umat yang lain sehingga mereka lebih pantas memegang jabatan keimamam ini. Hal ini telah ditetapkan juga oleh persaksian Allah dan pujian Rasulullah terhadap mereka. Kalau begitu mereka adalah orang yang paling pintar dari umat ini sehingga kita diwajibkan untuk merujuk kepada fatwa dan pendapat mereka serta terikat dengan pemahaman mereka terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah secara amalan, akal dan syariat, wabillahi taufiq.

[Disalin dari Kitab Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, edisi Indonesia Mengapa Memilih Manhaj Salaf (Studi Kritis Solusi Problematika Umat) oleh Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaly, terbitan Pustaka Imam Bukhari, penerjemah Kholid Syamhudi




Halaman ke-3 dari 3

Kesepuluh
Dari Abi Musa Al-Asy'ariy beliau berkata :

"Artinya : Kami sholat maghrib bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu kami berkata : Semalam kita duduk-duduk sampai shalat Isya bersama beliau lalu kami duduk sampai Rasulullah menemui kami dan berkata ; Kalian masih di sini ? kami menjawab : wahai Rasulullah kami telah shalat bersamamu kemudian kami berkata : kami akan tetap duduk sampai shalat Isya bersamamu, beliau menjawab ; bagus atau benar. Abu Musa berkata : kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kepala ke langit dan hal itu sering beliau lakukan lalu bersabda : bintang-bintang adalah penjaga langit, jika hilang bintang-bintang tersebut maka datanglah bencana padanya dan saya adalah penjaga para sahabatku maka jika saya pergi datang kepada mereka apa yang dijanjikan dan sahabatku adalah penjaga umatku jika telah pergi sahabatku datanglah kepada umat ku apa yang dijanjikan" [Hadits Riwayat Muslim 16/82 -An-Nawawiy]

Rasulullah menjadikan kedudukan para sahabatnya dibandingkan dengan generasi setelah mereka dari umat Islam sebagaimana kedudukan beliau kepada para sahabatnya dan sebagaimana kedudukan bintang terhadap langit.

Jelaslah Tasybih Nabawiy (perumpamaan Nabi) ini menjelaskan kewajiban mengikuti pemahaman para sahabat dalam agama Islam sama dengan kewajiban umat Islam kembali kepada Nabi mereka karena Nabi adalah penjelas Al-Qur'an sedangkan para sahabatnya adalah penyampai dan penjelas beliau bagi umat. Demikianlah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah seorang yang maksum yang tidak berbicara dengan hawa nafsu dan beliau hanya mengucapkan petunjuk dan hidayah, sedangkan para sahabatnya adil yang tidak berkata-kata kecuali dengan kejujuran dan tidak mengamalkan sesuatu kecuali kebenaran.

Dan demikian juga Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan bintang-bintang sebagai alat pelempar syaitan ketika mencuri khabar sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang, dan telah memeliharanya (sebenar-benarnya) dari setiap syaithan yang sangat durhaka, syaithan-syaithan itu tidak dapat mendengar-dengarkan (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari dari segala penjuru. Untuk mengusir mereka dan bagi mereka siksaan yang kekal, akan tetapi barangsiapa (diantara mereka) yang mencuri-curi (pembicaraan) ; maka ia dikejar-kejar oleh suluh api yang cemerlang" [Ash-Shaaffat : 9-10]

Dan firmanNya.

"Artinya : Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaithan" [Al-Mulk : 5]

Demikian juga para sahabat adalah hiasan umat Islam yang menghancurkan ta'wil orang-orang bodoh, ajaran batil dan penyimpangan orang yang menyimpang yang mengambil sebagian Al-Qur'an dan membuang sebagiannya, mengikuti hawa nafsu mereka lalu bercerai-berai ke kanan dan ke kiri lalu mereka menjadi berkelompok-kelompok. Demikian juga bintang-bintang menjadi tanda bagi penduduk bumi agar mereka gunakan sebagai alat petunjuk di kegelapan darat dan laut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan Dia (ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk." [An-Nahl : 16]

Dan firmanNya.

"Artinya : Dan Dia-lah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut" [Al-An'am :97]
Demikian juga para sahabat, mereka dicontoh untuk menyelamatkan diri dari kegelapan syahwat dan syubhat, maka orang yang berpaling dari pemahaman mereka berada dalam kesesatan yang membawanya kepada kegelapan yang sangat kelam, seandainya dia mengeluarkan tangannya maka tidak terlihat lagi.

Dengan pemahaman para sahabat, kita membentengi Al-Kitab dan As-Sunnah dari kebid'ahan syaithan jin dan manusia yang menginginkan fitnah dan ta'wilnya untuk merusak apa yang dimaksud Allah dan RasulNya. Sehingga pemahaman para sahabat merupakan pelindung dari kejelekan dan sebab-sebabnya. Seandainya pemahaman mereka bukan hujjah tentunya pemahaman orang setelah mereka menjadi penjaga dan pelindung mereka dan ini mustahil.

Kesebelas
Hadits-hadits yang menjelaskan kewajiban untuk mencintai para sahabat dan mencela orang yang membenci mereka -dan merupakan kesempurnaan dalam mencintai mereka adalah dengan mencontoh jejak langkah dan berjalan di atas petunjuk mereka dalam memahami kitabullah dan sunnah Rasulullah- sangat banyak, diantara hadits-hadits tersebut adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Janganlah mencela sahabatku karena seandainya salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar gunung uhud tidak akan menyamai satu mud atau setengah mudnya shadaqah mereka" [1]

Keutamaan ini bukan saja dari sisi mereka telah melihat, berdampingan dan bersahabat dengan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam akan tetapi hal itu karena ittiba' dan pengamalan mereka terhadap sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang demikian besar. Pantaslah jika pemahaman mereka dijadikan jalan petunjuk dan pendapat-pendapat mereka dijadikan kiblat tempat seorang muslim menghadapkan wajahnya dan tidak berpaling kepada selainnya. Dan hal itu jelas -jika dilihat- sebab turunnya hadits ini dimana orang yang dilarang tersebut adalah Khalid bin Al-Walid dan beliau seorang sahabat, maka apabila satu mud sebagian sahabat atau setengahnya lebih baik di sisi Allah dari emas sebesar gunung uhud lantaran keutamaan dan terdahulunya mereka dalam Islam, maka tidak diragukan lagi adanya perbedaan yang besar antara sahabat dengan orang yang setelah mereka. Kalau keadaannya seperti ini bagaimana mungkin pemahaman orang yang memiliki akal yang cemerlang dalam agama Allah ini tidak menjadi jalan petunjuk yang membawa kepada jalan yang lebih lurus ?

Keduabelas
Diantaranya hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin dan gigitlah dengan gigi gerahammu" [Telah lewat Takhrijnya]

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan umatnya ketika terjadi perselisihan untuk berpegang teguh kepada sunnahnya dengan paham para sahabatnya sebagaimana telah lalu penjelasannya.

Diantara faedah berharga dari hadits ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah menyebut sunnahnya dan sunnah para Khulafaur Rasyidin berkata :

Dalam rangka untuk menunjukkan bahwa sunnah beliau dan sunnah para Khalifah Rasyidin adalah satu manhaj dan hal itu hanya terjadi dengan pemahaman yang shahih dan jelas yaitu berpegang teguh kepada sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pemahaman para sahabatnya.

Ketigabelas
Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam mensifatkan manhaj Firqatun Najiyah (golongan yang selamat) dan Ath-Thaifah Al-Manshurah (kelompok yang dimenangkan) :

"Artinya : Apa yang aku ada atasnya sekarang dan para sahabatku" [Telah lalu Takhrijnya]

Ada yang mengatakan : Tidak diragukan lagi bahwa pemahaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya setelah beliau adalah manhaj yang tidak ada kebatilannya akan tetapi apa dalilnya kalau manhaj salafi adalah pemahaman Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya ?

Jawabanya : awaban atas pertanyaan ini ada dari dua sisi :
Sesungguhnya pemahaman-pemahaman yang disebutkan tadi adanya setelah zaman Nabi dan kekhilafahan Rasyidah dan tentunya tidaklah dinisbatkan yang terdahulu kepada yang setelahnya akan tetapi sebaliknya, sehingga jelaslah kelompok yang tidak berjalan dan mengikuti jalan-jalan kesesatan adalah kelompok yang berada pada asalnya.

Kami tidak menemukan pada kelompok-kelompok sempalan umat Islam yang sesuai dengan para sahabat kecuali Ahlul Sunnah wal Jama'ah dari kalangan pengikut As-Salaf Ash-Shalih Ahlul Hadits.

Adapun Mu'tazilah bagaimana bisa sesuai dengan para sahabat sedangkan tokoh-tokoh besar mereka mencela tokoh besar sahabat dan merendahkan keadilan mereka serta menuduh mereka sesat seperti Al-Washil bin Atho' yang menyatakan : Seandainya Ali, Tholhah dan Az-Zubair bersaksi maka saya tidak menghukum karena persaksian mereka.[Lihat Al-Farqu Bainal Firaq hal.119-120]

Adapun Khawarij telah keluar dari agama dan menyempal dari jama'ah kaum muslimin karena diantara pokok-pokok dasar ajaran mereka adalah mengkafirkan Ali dan anaknya, Ibnul Abbas, Utsman, Thalhah, Aisyah dan Mu'awiyah dan tidaklah berada diatas sifat-sifat para sahabat orang yang melecehkan dan mengkafirkan mereka.

Adapun Shufiyah, mereka meremehkan warisan para Nabi dan merendahkan para penyampai Al-Kitab dan As-Sunnah serta mensifatkan mereka sebagai para mayit. Seorang tokoh besar mereka berkata : Kalian mengambil ilmu kalian, dari mayit sedangkan kami mengambil ilmu kami dari yang maha hidup yang tidak mati (Allah) langsung. Oleh karena itu mereka mengatakan -dengan mulut-mulut mereka untuk menolak sanad hadits- : Telah mengkhabarkan kepada saya hati saya dari Rabb.

Adapun Syi'ah, mereka telah meyakini bahwa para sahabat telah murtad setelah kematian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali beberapa orang saja, lihatlah Al-Kisyiy -salah seorang imam mereka- meriwayatkan satu riwayat dalam kitab Rijalnya hal. 12,13 dari Abu Ja'far, bahwa dia telah menyatakan : Semua orang murtad setelah kematian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali tiga, saya berkata : Siapakah ketiga orang tersebut ? Beliau jawab : Al-Miqdaad bin Al-Aswaad, Abu Dzar Al-Ghifary dan Salman Al-Farisiy.

Dan meriwayatkan dalam hal.13 dari Abu Ja'far, dia berkata : Kaum Muhajirin dan Anshor telah keluar (dari agama) kecuali tiga. [Lihat Al-Kaafiy karya Al-Kulaniy, hal.115]

Lihat juga Khumaini -tokoh besar mereka di zaman ini- mencela dan melaknat Abu Bakar dan Umar dalam kitabnya Kasyful Asroor hal, 131, dia menyatakan : Sesungguhnya syaikhani (Abu Bakar dan Umar) ... dan dari sini kita dapati diri kita terpaksa menyampaikan bukti-bukti penyimpangan mereka berdua yang sangat jelas terhadap Al-Qur'an dalam rangka membuktikan bahwa kedua telah menyelisihinya.

Dan berkata lagi hal 137 : ... dan Nabi menutup matanya (wafat) sedangkan kedua telinga beliau ada ucapan-ucapan Ibnul Khaththab yang tegak diatas kedustaan dan bersumber dari amalan kekufuran, kezindikan dan penyelisihan terhadap ayat-ayat yang ada dalam Al-Qur'an yang mulia.

Adapun Murji'ah, mereka berkeyakinan bahwa iman orang-orang munafiq yang berada dalam kenifakan sama seperti imannya Assabiqunal Awalun (orang-orang pertama yang masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar.

Bagaimana mereka semua ini bersesuaian dengan para sahabat sedangkan mereka :

Mengkafirkan orang-orang pilihan dari kalangan mereka
Tidak menerima sedikitpun yang mereka riwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam aqidah dan hukum syari'at.
Mengikuti peradaban Rumawi dan filsafat Yunani

Kesimpulannya
Kelompok-kelompok ini semua ingin menolak para saksi kita terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah dan mencela mereka sedangkan mereka lebih pantas dicela dan mereka ini adalah kaum zindiq.

Dengan demikian jelaslah bahwa pemahaman salaf adalah manhaj Al-Firqatun Najiyah dan Ath-Thaifah Al-Manshurah dalam konsep pemahaman, penerimaan dan Istidlal (pengambilan hukum).

Sedangkan orang-orang yang mencontoh para sahabat adalah orang-orang yang beramal dengan riwayat-riwayat (hadits) yang shahih dan otentik dalah hukum syariat, dengan jalan dan pemahaman sahabat, dan ini merupakan jalan hidupnya Ahlul Hadits, bukan jalannya ahlul bid'ah dan hawa. Sehingga benar dan kuatlah apa yang telah kami paparkan ketika kami jelaskan wujud keberhasilan mereka dalam berhukum kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan keberhasilan orang yang mengambil sunnah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnahnya para Khulafaur Rasyidin setelah beliau.

[Disalin dari Kitab Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, edisi Indonesia Mengapa Memilih Manhaj Salaf (Studi Kritis Solusi Problematika Umat) oleh Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaly, terbitan Pustaka Imam Bukhari, penerjemah Kholid Syamhudi]
_________
Foote Note.
[1]. Hadits Riwayat Al-Bukhariy 7/21 - Al-Fath dan Muslim 16/92-93 - An-Nawawiy dari hadits Abi Said Al-Khudriy. Dan disebutkan dalam Shahih Muslim (16/92 - An-Nawawiy) dari hadits Abi Hurairah dan ini satu kesalahan sebagaimana telah dijelaskan oleh Al-Hafidz Al-Baihaaqiy dalam Al-Madkhol Ila Sunnah hal. 113 dan Ibnu Hajar dalam Fathul Bariy 7/135, untuk lebih jelasnya lihat kitab : Juz Muhammad bin Ashim An-Syuyukhihi yang saya tahqiq (13)


www.almanhaj.or.id

Tuesday 14 July 2009

Teman sejati bukanlah seia sekata,tapi ia selalu mampu mendekatkan kita dng-Nya. Walau kadang nasehatnya menyakiti hati kita, karena ia tidak rela temanya berada dalam dosa.
Tuliskan rencana kita dng sebuah pensil, tapi berikan penghapusnya pada Allah.
Izinkan Dia menghapus bagian-bagian yang saklah & mengganytinya dng rencana Nya yang indah di dalam hidup kita,.
Karena Allah selalu tahu apa yang kita butuhkan. Bukan apa yang kita minta..

kuasa Allah


Ketika waktu terasa begitu sempit,Allah ingin menunjukan bahwa begitu berharganya waktu.
Ketika tubuh terasa letih, Allah mengingatkan begitu lemahnya manusia….tak mampu berbuat banyak tanpa –Nya.
Ketika kita merasa kesabaran kita sudah habis, Allah yag berkuasa atas segala kekuasaan-Nya,ingin mengatakan bahwa cinta-Nya takkan pernah habis untuk hamba-Nya.
Demikianlah keterbatasan manusia…tak ada yang luput dari-Nya………..

sahabat


SAHABATku, perbedaan itu biasa.
Tapi menjadi orang yang berbeda,istimewa,&luar biasa itu sangat sulit.
Karena dalam hal yang pertama kita sering kali hanya diam,menjadi pengamat, penonton, tidak mau bergerak, & tidak ada yang bisa diberikan .
Sedangkan dalam keadaan yang kedua, orang cenderung menjauhi karena memang berat, banyak hambatan,& banyak mengeluarkan energi…
Tapi berbahagialah karena kita memiliki semangat & tujuan hidup.,rasa optimis,& misi mulia. Ia akan bergerak,memilih menjadi pelaku & menapaki setiap jalannya sehingga suatu hari,misi mulianya tercapai & menjadi orang luar biasa.

Friday 29 May 2009

Urgensi Tauhid

langit.jpgTauhid adalah sesuatu yang sudah akrab di telinga kita. Namun tidak ada salahnya kita mengingat beberapa keutamaannya. Karena dengan begitu bisa menambah keyakinan kita atau meluruskan tujuan sepak terjang kita yang selama ini mungkin keliru. Karena melalaikan masalah tauhid akan berujung pada kehancuran dunia dan akhirat.

Tujuan Diciptakannya Makhluk Adalah untuk Bertauhid
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyaat: 56)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yaitu tujuan mereka Kuciptakan adalah untuk Aku perintah agar beribadah kepada-Ku, bukan karena Aku membutuhkan mereka.” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Adzhim, Tafsir surat Adz-Dzariyaat). Makna menyembah-Ku dalam ayat ini adalah mentauhidkan Aku, sebagaimana ditafsirkan oleh para ulama salaf.
Tujuan Diutusnya Para Rasul Adalah untuk Mendakwahkan Tauhid
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang Rasul (yang mengajak) sembahlah Allah dan tinggalkanlah thoghut.” (QS. An-Nahl: 36)
Thoghut adalah sesembahan selain Allah. Syaikh As-Sa’di berkata, “Allah Ta’ala memberitakan bahwa hujjah-Nya telah tegak kepada semua umat, dan tidak ada satu umatpun yang dahulu maupun yang belakangan, kecuali Allah telah mengutus dalam umat tersebut seorang Rasul. Dan seluruh Rasul itu sepakat dalam menyerukan dakwah dan agama yang satu yaitu beribadah kepada Allah saja yang tidak boleh ada satupun sekutu bagi-Nya.” (Taisir Karimirrahman, Tafsir surat An-Nahl). Beribadah kepada Allah dan mengingkari thoghut itulah hakekat makna tauhid.
Tauhid Adalah Kewajiban Pertama dan Terakhir
Rasul memerintahkan para utusan dakwahnya agar menyampaikan tauhid terlebih dulu sebelum yang lainnya. Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ta’ala ‘anhu, “Jadikanlah perkara yang pertama kali kamu dakwahkan ialah agar mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhori dan Muslim). Nabi juga bersabda, “Barang siapa yang perkataan terakhirnya Laa ilaaha illAllah niscaya masuk surga.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Hakim dihasankan Al-Albani dalam Irwa’ul Gholil)
Tauhid Adalah Kewajiban yang Paling Wajib
Allah berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Allah mengampuni dosa selain itu bagi orang-orang yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisaa’: 116)
Sehingga syirik menjadi larangan yang terbesar. Sebagaimana syirik adalah larangan terbesar maka lawannya yaitu tauhid menjadi kewajiban yang terbesar pula. Allah menyebutkan kewajiban ini sebelum kewajiban lainnya yang harus ditunaikan oleh hamba. Allah Ta’ala berfirman,
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah pada kedua orang tua.” (QS. An-Nisaa’: 36).
Kewajiban ini lebih wajib daripada semua kewajiban, bahkan lebih wajib daripada berbakti kepada orang tua. Sehingga seandainya orang tua memaksa anaknya untuk berbuat syirik maka tidak boleh ditaati. Allah berfirman,
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا
“Dan jika keduanya (orang tua) memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya…” (QS. Luqman: 15)
Hati yang Saliim Adalah Hati yang Bertauhid
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah di dalam tubuh itu ada segumpal daging, apabila ia baik maka baiklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Allah Ta’ala berfirman,
يَوْمَ لا يَنْفَعُ مَالٌ وَلا بَنُونَ (٨٨)إِلا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“Hari dimana harta dan keturunan tidak bermanfaat lagi, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang saliim (selamat).” (QS. Asy Syu’araa’: 88-89)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yaitu hati yang selamat dari dosa dan kesyirikan.” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Adzhim, Tafsir surat Asy Syu’araa’). Maka orang yang ingin hatinya bening hendaklah ia memahami tauhid dengan benar.
Tauhid Adalah Hak Allah yang Harus Ditunaikan Hamba
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah yang harus ditunaikan hamba yaitu mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun…” (HR. Bukhori dan Muslim)
Menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya artinya mentauhidkan Allah dalam beribadah. Tidak boleh menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun dalam beribadah, sehingga wajib membersihkan diri dari syirik dalam ibadah. Orang yang tidak membersihkan diri dari syirik maka belumlah dia dikatakan sebagai orang yang beribadah kepada Allah saja (diringkas dari Fathul Majid).
Ibadah adalah hak Allah semata, maka barangsiapa menyerahkan ibadah kepada selain Allah maka dia telah berbuat syirik. Maka orang yang ingin menegakkan keadilan dengan menunaikan hak kepada pemiliknya sudah semestinya menjadikan tauhid sebagai ruh perjuangan mereka.
Tauhid Adalah Sebab Kemenangan di Dunia dan di Akhirat
Para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshor radhiyallahu ta’ala ‘anhum adalah bukti sejarah atas hal ini. Keteguhan para sahabat dalam mewujudkan tauhid sebagai ruh kehidupan mereka adalah contoh sebuah generasi yang telah mendapatkan jaminan surga dari Allah serta telah meraih kemenangan dalam berbagai medan pertempuran, sehingga banyak negeri takluk dan ingin hidup di bawah naungan Islam. Inilah generasi teladan yang dianugerahi kemenangan oleh Allah di dunia dan di akhirat.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridho kepada mereka dan merekapun telah ridho kepada Allah. Allah telah menyiapkan bagi mereka surga-surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100)
Namun sangat disayangkan, kenyataan umat Islam di zaman ini yang diliputi kebodohan bahkan dalam masalah tauhid! Maka pantaslah kalau kekalahan demi kekalahan menimpa pasukan Islam di masa ini. Ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam akidah mereka. Wallahu a’lam bish showaab.
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Muroja’ah: Ustadz Abu ‘Is

sumber : mki-sman1g.co.cc

Milikilah Sedikit Malu, Wahai Saudariku...

Milikilah Sedikit Malu, Wahai Saudariku...

tulip.jpgSaudariku yang semoga dirahmati oleh Alloh …
Seperti yang telah kita ketahui bersama, Islam adalah agama yang sempurna dan tidaklah satu perkara kecil pun melainkan telah diatur oleh Islam. Begitu juga dalam perkara wanita, Islam juga telah mengaturnya. Islam sangat memperhatikannya dan menempatkan para wanita sesuai dengan kedudukannya. Dan agama yang mulia ini juga telah mengatur begaimana adab-adab dalam bergaul, berpakaian, dan sebagainya. Di mana segala yang diperintahkan dan diatur oleh Alloh dan Rosul-Nya pasti terdapat maslahah (kebaikan) di balik itu semua. Dan segala yang dilarang pasti ada mafsadah (keburukan) baik mafsadah itu murni ataupun mafsadah itu lebih besar daripada maslahah yang diperoleh.
Sungguh sangat menyedihkan sedikit demi sedikit aturan yang telah dibuat oleh Alloh dan Rosul-Nya dilanggar oleh anak Adam khususnya kaum Hawa. Di antara fenomena yang kita saksikan bersama, kaum hawa dewasa ini mulai menanggalkan dan luntur sifat malunya. Mereka tidak merasa malu bergaul bebas dengan kaum Adam! Bahkan yang lebih mengenaskan, banyak dari kaum hawa yang berani mengumbar aurat (berpakaian tapi telanjang) di hadapan umum! Fainna lillahi wa inna ilaihi rooji’un!
Lantas bagaimanakah tatanan Islam mengenai sifat malu bagi wanita?

Maka cermatilah kisah yang difirmankan Alloh berikut ini,
“Dan tatkala ia (Musa) sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya. Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya.” (Al Qoshosh : 23-24)
Lihatlah bagaimana bagusnya sifat kedua wanita ini, mereka malu berdesak-desakan dengan kaum lelaki untuk meminumkan ternaknya. LALU BAGAIMANA DENGAN WANITA ZAMAN SEKARANG INI! Sungguh mereka tidak malu-malu lagi untuk bergaul dengan kaum pria.
Tidak cukup sampai di situ kebagusan akhlaq kedua wanita tersebut. Lihatlah bagaimana sifat mereka tatkala datang untuk memanggil Musa ‘alaihis salaam; Alloh melanjutkan firman-Nya,
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan penuh rasa malu, ia berkata, ‘Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami.’” (Al Qoshosh : 25)
Ayat yang mulia ini,menjelaskan bagaimana seharusnya kaum wanita berakhlaq dan bersifat malu. Alloh menyifati gadis wanita yang mulia ini dengan cara jalannya yang penuh dengan rasa malu dan terhormat.
Amirul Mukminin Umar bin Khoththob rodiyallohu ‘anhu mengatakan, “Gadis itu menemui Musa ‘alaihis salaam dengan pakaian yang tertutup rapat.” (Tafsirul Qur’anil ‘Azhiim, Ibnu Katsir.
Maka wahai para wanita, sadarlah dari kelalaian ini. Kembalilah ke jalan Robbmu. Janganlah kalian tertipu dengan jebakan, bujukan, dan propaganda syaithon yang ingin mengeluarkan para wanita dari sifat keasliannya.
Dan batasilah pergaulan antara ikhwan dan akhwat, jangan sampai mudah untuk bergaul bebas walaupun sudah memenuhi pakaian yang syar’i dan sudah menjadi anggota Keluarga Muslim. Dan ingatlah syaithon akan selalu menyesatkan anak Adam, sehingga perkara yang semula dianggap jelek akan dibuat samar oleh syaithon sehingga perkara yang terlarang ini (bergaul tanpa batas antara ikhwan dan akhwat) menjadi kelihatan baik dan dianggap biasa.
Semoga Alloh menjadikan kita orang-orang yang memiliki sifat malu.

sumber : mki-sman1g.co.cc

Adakah Musik dalam Islam??!

Adakah Musik dalam Islam??!

Sesungguhnya seseorang yang benar-benar memiliki cinta sejati kepada Allah ialah mereka yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Merekalah orang yang selalu setia kepada Allah, sekalipun perintah tersebut tidak sesuai dengan kehendak jiwa.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ”Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (al Ahzab; 36).
Oleh karena itu, sudah selayaknya bagi kita tatkala Allah telah menghalalkan sesuatu, kitapun juga menghalalkannya. Begitu pula tatkala Allah mengharamkan sesuatu, maka kita berusaha untuk menjauhi dan meninggalkannya. Salah satu hal yang telah diharamkan dalam agama ini adalah musik. Hal ini telah terkandung dalam al Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menjelaskan tentang larangan/haramnya musik.
Perintah dari Atas Langit dan Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
Pembaca sekalian, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ”Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (Luqman: 6).
Ketika Abdullah Ibnu Mas'ud raddiyallahu ‘anhu ditanya mengenai ayat ini, beliau berkata, “Demi Allah yang tidak ada sesembahan yagn haq melainkan Dia, yang dimaksud dengan 'lahwal hadits' di sini ialah nyanyian.”, beliau mengulangi perkataannya sampai tiga kali. Para ahli tafsir yang lainnya juga mengatakan demikian, seperti Ibnu Abbas, Jabir, Ikrimah, Sa'id bin Jubair dan Mujahid (Lihat Tafsir Ibnu Katsir).
Imam al Bukhari rahimahullah telah meriwayatkan sebuah hadits secara mu'allaq jazm di dalam kitab Shahihnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Benar-benar akan muncul sekelompok orang dari umatku yang menghalalkan zina, kain sutra, khamr dan alat musik. Dan benar-benar akan muncul segolongan orang yang menetap di puncak gunung lalu datang orang yang membawa ternaknya (yakni fakir) untuk suatu keperluan. Mereka berkata, 'Datanglah lagi ke sini keesokan hari.' maka pada malam itu Allah membinasakan mereka serta meluluhlantakkan gunung yang mereka tempati dan merubah sebagian lainnya menjadi kera dan babi hingga hari kiamat.”
Berdasarkan ayat al Qur'an dan hadits di atas dapat kita jumpai penjelasan tentang keharaman nyanyian dan alat musik. Bahkan tentang haramnya nyanyian dan alat musik. Berdasarkan dalil-dalil di atas telah menjadi kesepakatan dari para Imam Madzhab yang empat (Imam Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad).
Taslim (Berserah Diri) sebagai Sikap Seorang Muslim Sejati
Dalam perintah dan larangan terhadap sesuatu hal, pastilah ada hikmah di balik perintah dan larangan tersebut. Walaupun seseorang tersebut tidak mengetahui hikmah tersebut, akan tetapi seorang mukmin wajib meyakini hikmah Allah dalam syari'atnya. Karena kalau kita meragukannya, maka hal itu bertentangan dengan keimanan. Keimanan yang benar adalah kepasrahan kepada Pembuat syari'at yang Maha Bijaksana.
Mungkin ada suara-suara sumbang, ”Apakah Islam tidak mengenal seni dan keindahan?” Perlu diketahui bahwa keindahan adalah termasuk bagian dari ajaran Islam. Islam memang menganjurkan keindahan, karena Allah itu indah dan menyukai keindahan. Namun tidaklah tepat apabila kita sampai menghalalkan yang haram dengan alasan keindahan. Sehingga kita juga bisa mengatakan, ”Bukankah daging babi itu enak?” Dan Islam pun juga tidak melarang umatnya untuk memakan makanan yang enak? Lantas mengapa Islam melarangnya?”
Tentu, jawabnya lebih mudah kita terima, yaitu tidak semua yang enak itu halal dimakan. Pastilah di balik pengharaman daging babi, ada banyak hikmah yang agung, baik kita ketahui maupun yang tidak kita ketahui. Begitu pula hal-hal yang disenangi jiwa, maka tidak semuanya halal dilakukan.
Bahaya Musik dan Alat Musik
Perlu diketahui, bahwa mudharat yang ditimbulkan musik dan alat musik amatlah besar. Diantaranya yaitu;
1. Melalaikan dari dzikir dan ketaatan kepada Allah.
Para ulama mengatakan bahwa alat-alat musik itu dapat melalaikan seorang hamba dari dzikir dan taat kepada Allah serta kewajiban-kewajiban agama. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala, ”Dan diantara manusia ada yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Luqman; 6).
2. Nyanyian akan menumbuhkan kemunafikan.
Ibnul Qoyim berkata, ”Ketahuilah, sesungguhnya nyanyian memiliki keistimewaan-keistimewaan yang memiliki pengaruh didalam mewarnai hati dengan kemunafikan, dan tumbuhnya kemunafikan di dalam hati sebagaimana tumbuhnya tanaman karena air. Di antara keistimewaan nyanyian adalah: Nyanyian akan melalaikan hati dan menghalangi dari memahami dan merenungi al Qur'an serta mengamalkan isinya. Karena sesungguhnya nyanyian dan al Qur'an tidak akan bersatu di dalam hati selama-lamanya, karena keduanya saling bertentangan.”
Lagu sebagai Sarana Dakwah?
Ada juga bagi sebagian kaum muslimin yang menganggap bahwa nyanyian dan musik dapat dijadikan sebagai sarana dakwah, sehingga munculah apa yang kita kenal dengan ”lagu islami/nasyid islami”. Dakwah Islam harus disebarkan dengan cara-cara yang sesuai dengan al Qur’an dan Hadits. Kekeliruan kaum muslimin akan hal ini menyebabkan banyak di antara mereka yang tenggelam di dalam lautan maksiat musik ini, baik dengan mendengarkan, menjual-belikan ataupun yang lainnya. Dan sungguh kejayaan Islam tidak akan bisa tegak dengan kebatilan. Wallaahu A’lam


sumber : mki-sman1g.co.cc

Cinta Bukanlah Disalurkan Lewat Pacaran

Cinta Bukanlah Disalurkan Lewat Pacaran
Saturday, 14 February 2009
love2.jpgCinta kepada lain jenis merupakan hal yang fitrah bagi manusia. Karena sebab cintalah, keberlangsungan hidup manusia bisa terjaga. Oleh sebab itu, Allah Ta’ala menjadikan wanita sebagai perhiasan dunia dan kenikmatan bagi penghuni surga. Islam sebagai agama yang sempurna juga telah mengatur bagaimana menyalurkan fitrah cinta tersebut dalam syariatnya yang rahmatan lil ‘alamin. Namun, bagaimanakah jika cinta itu disalurkan melalui cara yang tidak syar`i? Fenomena itulah yang melanda hampir sebagian besar anak muda saat ini. Penyaluran cinta ala mereka biasa disebut dengan pacaran. Berikut adalah beberapa tinjauan syari’at Islam mengenai pacaran.
Ajaran Islam Melarang Mendekati Zina
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isro’ [17] : 32).
Dalam Tafsir Jalalain dikatakan bahwa larangan dalam ayat ini lebih keras daripada perkataan ‘Janganlah melakukannya’. Artinya bahwa jika kita mendekati zina saja tidak boleh, apalagi sampai melakukan zina, jelas-jelas lebih terlarang.
Asy Syaukani dalam Fathul Qodir mengatakan, ”Apabila perantara kepada sesuatu saja dilarang, tentu saja tujuannya juga haram dilihat dari maksud pembicaraan.
Dilihat dari perkataan Asy Syaukani ini, maka kita dapat simpulkan bahwa setiap jalan (perantara) menuju zina adalah suatu yang terlarang. Ini berarti memandang, berjabat tangan, berduaan dan bentuk perbuatan lain yang dilakukan dengan lawan jenis karena hal itu sebagai perantara kepada zina adalah suatu hal yang terlarang.
Islam Memerintahkan untuk Menundukkan Pandangan
Allah memerintahkan kaum muslimin untuk menundukkan pandangan ketika melihat lawan jenis. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ
“Katakanlah kepada laki – laki yang beriman :”Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. An Nuur [24] : 30 )
Dalam lanjutan ayat ini, Allah juga berfirman,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menundukkan pandangannya, dan kemaluannya” (QS. An Nuur [24] : 31)
Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat pertama di atas mengatakan, ”Ayat ini merupakan perintah Allah Ta’ala kepada hamba-Nya yang beriman untuk menundukkan pandangan mereka dari hal-hal yang haram. Janganlah mereka melihat kecuali pada apa yang dihalalkan bagi mereka untuk dilihat (yaitu pada istri dan mahromnya). Hendaklah mereka juga menundukkan pandangan dari hal-hal yang haram. Jika memang mereka tiba-tiba melihat sesuatu yang haram itu dengan tidak sengaja, maka hendaklah mereka memalingkan pandangannya dengan segera.”
Ketika menafsirkan ayat kedua di atas, Ibnu Katsir juga mengatakan, Firman Allah (yang artinya) ‘katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka’ yaitu hendaklah mereka menundukkannya dari apa yang Allah haramkan dengan melihat kepada orang lain selain suaminya. Oleh karena itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak boleh seorang wanita melihat laki-laki lain (selain suami atau mahromnya, pen) baik dengan syahwat dan tanpa syahwat. … Sebagian ulama lainnya berpendapat tentang bolehnya melihat laki-laki lain dengan tanpa syahwat.”
Lalu bagaimana jika kita tidak sengaja memandang lawan jenis?
Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى
“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim no. 5770)
Faedah dari menundukkan pandangan, sebagaimana difirmankan Allah dalam surat An Nur ayat 30 (yang artinya) “yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka” yaitu dengan menundukkan pandangan akan lebih membersihkan hati dan lebih menjaga agama orang-orang yang beriman. Inilah yang dikatakan oleh Ibnu Katsir –semoga Allah merahmati beliau- ketika menafsirkan ayat ini. –Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk menundukkan pandangan sehingga hati dan agama kita selalu terjaga kesuciannya-
Allah Memerintahkan kepada Wanita untuk Menutup Auratnya
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al Ahzab [33] : 59)
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nuur [24] : 31).
Berdasarkan tafsiran Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Atho’ bin Abi Robbah bahwa yang boleh ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak tangan. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Amr Abdul Mun’im Salim)
Agama Islam Melarang Berduaan dengan Lawan Jenis
Dari Ibnu Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ
“Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali jika bersama mahromnya.” (HR. Bukhari, no. 5233)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ ، إِلاَّ مَحْرَمٍ
“Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya." (HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shohih ligoirihi)
Jabat Tangan dengan Lawan Jenis Termasuk yang Dilarang
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim no. 6925)
An Nawawi –seorang ulama besar Syafi’iyyah- berkata, ”Makna hadits ini adalah bahwa anak Adam telah ditetapkan bagian untuk berzina. Di antaranya ada yang berbentuk zina secara hakiki yaitu memasukkan kemaluan kepada kemaluan yang haram. Di samping itu juga ada zina yang bentuknya simbolis (majas) yaitu dengan melihat sesuatu yang haram, mendengar hal-hal zina dan yang berkaitan dengan hasilnya; atau pula dengan menyentuh wanita ajnabiyah (wanita yang bukan istri dan bukan mahrom) dengan tangannya atau menciumnya; atau juga berjalan dengan kakinya menuju zina, memandang, menyentuh, atau berbicara yang haram dengan wanita ajnabiyah dan berbagai contoh yang semisal ini; bisa juga dengan membayangkan dalam hati. Semua ini merupakan macam zina yang simbolis (majas). Lalu kemaluan nanti yang akan membenarkan perbuatan-perbuatan tadi atau mengingkarinya. Hal ini berarti ada zina yang bentuknya hakiki yaitu zina dengan kemaluan dan ada pula yang tidak hakiki dengan tidak memasukkan kemaluan pada kemaluan, atau yang mendekati hal ini. Wallahu a’lam” (Syarh An Nawawi ‘ala Muslim)
Jika kita melihat pada hadits di atas, menyentuh lawan jenis -yang bukan istri atau mahrom- diistilahkan dengan berzina. Hal ini berarti menyentuh lawan jenis adalah perbuatan yang haram karena berdasarkan kaedah ushul ‘apabila sesuatu dinamakan dengan sesuatu lain yang haram, maka menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah haram.” (Lihat Taysir Ilmi Ushul Fiqh, Abdullah bin Yusuf Al Juda’i)
Meninjau Fenomena Pacaran
Setelah pemaparan kami di atas, jika kita meninjau fenomena pacaran saat ini pasti ada perbuatan-perbuatan yang dilarang di atas. Kita dapat melihat bahwa bentuk pacaran bisa mendekati zina. Semula diawali dengan pandangan mata terlebih dahulu. Lalu pandangan itu mengendap di hati. Kemudian timbul hasrat untuk jalan berdua. Lalu berani berdua-duan di tempat yang sepi. Setelah itu bersentuhan dengan pasangan. Lalu dilanjutkan dengan ciuman. Akhirnya, sebagai pembuktian cinta dibuktikan dengan berzina. –Naudzu billahi min dzalik-. Lalu pintu mana lagi paling lebar dan paling dekat dengan ruang perzinaan melebihi pintu pacaran?!
Mungkinkah ada pacaran Islami? Sungguh, pacaran yang dilakukan saat ini bahkan yang dilabeli dengan ’pacaran Islami’ tidak mungkin bisa terhindar dari larangan-larangan di atas. Renungkanlah hal ini!
Mustahil Ada Pacaran Islami
Salah seorang dai terkemuka pernah ditanya, ”Ngomong-ngomong, dulu bapak dengan ibu, maksudnya sebelum nikah, apa sempat berpacaran?”
Dengan diplomatis, si dai menjawab,”Pacaran seperti apa dulu? Kami dulu juga berpacaran, tapi berpacaran secara Islami. Lho, gimana caranya? Kami juga sering berjalan-jalan ke tempat rekreasi, tapi tak pernah ngumpet berduaan. Kami juga gak pernah melakukan yang enggak-enggak, ciuman, pelukan, apalagi –wal ‘iyyadzubillah- berzina.
Nuansa berpikir seperti itu, tampaknya bukan hanya milik si dai. Banyak kalangan kaum muslimin yang masih berpandangan, bahwa pacaran itu sah-sah saja, asalkan tetap menjaga diri masing-masing. Ungkapan itu ibarat kalimat, “Mandi boleh, asal jangan basah.” Ungkapan yang hakikatnya tidak berwujud. Karena berpacaran itu sendiri, dalam makna apapun yang dipahami orang-orang sekarang ini, tidaklah dibenarkan dalam Islam. Kecuali kalau sekedar melakukan nadzar (melihat calon istri sebelum dinikahi, dengan didampingi mahramnya), itu dianggap sebagai pacaran. Atau setidaknya, diistilahkan demikian. Namun itu sungguh merupakan perancuan istilah. Istilah pacaran sudah kadong dipahami sebagai hubungan lebih intim antara sepasang kekasih, yang diaplikasikan dengan jalan bareng, jalan-jalan, saling berkirim surat, ber SMS ria, dan berbagai hal lain, yang jelas-jelas disisipi oleh banyak hal-hal haram, seperti pandangan haram, bayangan haram, dan banyak hal-hal lain yang bertentangan dengan syariat. Bila kemudian ada istilah pacaran yang Islami, sama halnya dengan memaksakan adanya istilah, meneggak minuman keras yang Islami. Mungkin, karena minuman keras itu di tenggal di dalam masjid. Atau zina yang Islami, judi yang Islami, dan sejenisnya. Kalaupun ada aktivitas tertentu yang halal, kemudian di labeli nama-nama perbuatan haram tersebut, jelas terlelu dipaksakan, dan sama sekali tidak bermanfaat. (Diambil dari buku Sutra Asmara, Ust Abu Umar Basyir)
Pacaran Mempengaruhi Kecintaan pada Allah
Ibnul Qayyim menjelaskan, ”Kalau orang yang sedang dilanda asmara itu disuruh memilih antara kesukaan pujaannya itu dengan kesukaan Allah, pasti ia akan memilih yang pertama. Ia pun lebih merindukan perjumpaan dengan kekasihnya itu ketimbang pertemuan dengan Allah Yang Maha Kuasa. Lebih dari itu, angan-angannya untuk selalu dekat dengan sang kekasih, lebih dari keinginannya untuk dekat dengan Allah”.
Pacaran Terbaik adalah Setelah Nikah
Islam yang sempurna telah mengatur hubungan dengan lawan jenis. Hubungan ini telah diatur dalam syariat suci yaitu pernikahan. Pernikahan yang benar dalam islam juga bukanlah yang diawali dengan pacaran, tapi dengan mengenal karakter calon pasangan tanpa melanggar syariat. Melalui pernikahan inilah akan dirasakan percintaan yang hakiki dan berbeda dengan pacaran yang cintanya hanya cinta bualan.
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« لَمْ نَرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ »
“Kami tidak pernah mengetahui solusi untuk dua orang yang saling mencintai semisal pernikahan.” (HR. Ibnu Majah no. 1920. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani)
Kalau belum mampu menikah, tahanlah diri dengan berpuasa. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagaikan kebiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Penutup
Ibnul Qayyim berkata, ”Hubungan intim tanpa pernikahan adalah haram dan merusak cinta, malah cinta di antara keduanya akan berakhir dengan sikap saling membenci dan bermusuhan, karena bila keduanya telah merasakan kelezatan dan cita rasa cinta, tidak bisa tidak akan timbul keinginan lain yang belum diperolehnya.”
Cinta sejati akan ditemui dalam pernikahan yang dilandasi oleh rasa cinta pada-Nya."
Mudah-mudahan Allah memudahkan kita semua untuk menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Allahumma inna nas’aluka ’ilman nafi’a wa rizqon thoyyiban wa ’amalan mutaqobbbalan
Panggang, Gunung Kidul, 22 Muharram 1430 H
Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya
Muhammad Abduh Tuasikal, ST

sumber : mki-sman1g.co.cc